Selasa, 13 Maret 2012

Dana Talangan Haji

Pembiayaan talangan haji adalah pinjaman (qardh) dari bank syariah kepada nasabah untuk menutupi kekurangan dana guna memperoleh kursi (seat) haji pada saat pelunasan BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji). Dana talangan ini dijamin dengan deposit yang dimiliki nasabah. Nasabah kemudian wajib mengembalikan sejumlah uang yang dipinjam itu dalam jangka waktu tertentu. Atas jasa peminjaman dana talangan ini, bank syariah memperoleh imbalan (fee/ujrah) yang besarnya tak didasarkan pada jumlah dana yang dipinjamkan.
Pembiayaan dana talangan haji ini merupakan salah satu produk Bank untuk menjawab kebutuhan umat yang ingin menunaikan haji, namun uangnya belum terkumpul. Namun kontroversi di kalangan masyarakat mulai muncul, sehubungan dengan imbalan (fee/ujrah) yang didapat oleh Bank dari nasabahnya atas jasa pinjaman dana talangan haji ini.
Pasalnya, pada tanggal 26 Juni 2002, MUI telah mengeluarkan fatwa Nomor 29/ DSN-MUI/VI/2002 terkait dengan pembiayaan pengurusan haji oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Salah satu isinya menyebutkan bahwa LKS dapat menalangi pembayaran BPIH nasabah dengan prinsip al-Qard.
Ada yang berpendapat bahwa obyek akadnya adalah jasa pinjaman dengan mensyaratkan tambahan imbalan. Dan setiap pinjaman yang mensyaratkan tambahan adalah riba, meski besarnya tak didasarkan pada jumlah dana yang dipinjamkan. Ada sebuah kaidah fikih menyebutkan, “Setiap pinjaman yang mensyaratkan tambahan hukumnya haram tanpa ada perbedaan pendapat.» (Kullu qardhin syaratha fiihi an yazidahu fahuwa haram bighairi khilaf).
Menurut, AM. Hasan Ali, MA, Pengkaji Pusat Komunikasi Ekonomi Islam (PKES), salah satu ulama yang tidak menghendaki adanya dana talangan haji yaitu Quraish Shihab. Alasannya, rukun Islam kelima itu hanya wajib ditunaikan bagi mereka yang mampu. Dengan adanya dana talangan haji, terkesan memaksakan diri bagi mereka yang tidak mampu. Padahal, hukumnya tidak wajib bagi yang tidak mampu.
Untuk menepis kesan terpaksa, fatwa tersebut mensyaratkan nasabah sebagai golongan orang mampu. Dalam artian, tidak akan memberatkan keluarganya nanti setelah pulang dari haji. “Kalau persoalannya memaksakan diri dan dinilai tidak mampu, maka tidak boleh,” tegas Hasan Ali, yang saat ini menjabat sebagai Dewan Pengawas Syariah Promitra Finance dan juga Dosen Ekonomi Islam, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Sedangkan untuk menepis kehalalan imbalan jasa (ujrah) yang diambil oleh LKS, fatwa tersebut merekomendasikan untuk merujuk pada prinsip ijarah dalam Fatwa DSN-MUI Nomor 9/DSN-MUI/IV/2000 dan prinsip al-Qardh dalam Fatwa DSN-MUI Nomor 19/DSN-MUI/IV/2001.
Jadi, kesimpulannya menurut saya dana talangan haji ini diperbolehkan untuk seseorang yang secara financial memiliki kepastian untuk membayar dana talangan haji ini. Namun, bagi seseorang yang belum mampu untuk membayar dana takangan hajinya, maka lebih baik menabung terlebih dahulu daripada berutang untuk membayar sisa tagihan dana talangan hajinya. Apabila kurang mampu maka jangan dipaksakan untuk pergi ibadah haji, karena  hukumnya tidak wajib bagi yang tidak mampu. Lebih baik orang tersebut menabung dahulu untuk biaya pergi haji dengan membuka tabungan haji, dibanding dengan menggunakan dana talangan haji.

Sumber :
http://majalahgontor.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=337:kontroversi-seputar-dana-talangan-haji&catid=66:ekonomi-islam&Itemid=128
http://konsultasi.wordpress.com/2010/10/04/hukum-pembiayaan-talangan-haji/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar