Selasa, 22 Mei 2012

Makalah Fiqh Mu'amalah II " 'Ariyah "

A.  Pengertian ‘Ariyah
Ariyyah atau ‘Ariyah diartikan dalam pengertian etimologi (lughat) dengan beberapa macam makna, yaitu:
1.      ‘Ariyah adalah nama untuk barang yang dipinjam oleh umat manusia secara bergiliran antara mereka. Perkataan itu diambil dari masdar at ta’wur dengan memakai artinya perkataan at tadaawul.
2.      ‘Ariyah adalah nama barang yang dituju oleh orang yang meminjam. Jadi perkataan itu diambil dari akar kata ‘arahu-ya’ruuhu-‘urwan.
3.      ‘Ariyah adalah nama barang yang pergi dan datang secara cepat. Diambil dari akar kata ‘aara yang artinya pergi dan datang dengan secara cepat.

Itulah makna perkataan ‘Ariyah yang shahih dan pengambilannya. Sedangkan pengertiannya dalam terminologi Ulama Fiqh, maka dalam hal ini terdapat perincian beberapa madzhab :

·         Madzhab Maliki (Al Malikiyah)
‘Ariyah didefinisikan lafazhnya berbentuk masdar dan itu merupakan nama bagi sesuatu yang dipinjam. Maksudnya adalah memberikan hak memiliki manfaat yang sifatnya temporer (sementara waktu) dengan tanpa ongkos. Contoh: meminjamkan/memberikan hak memiliki manfaatnya motor (suatu benda) ditentukan waktunya dengan tanpa ongkos. Atau manfaat bajak untuk membajak tanah pada masa yang ditentukan. Maka pemberian hak memiliki manfaat tersebut dinamakan ‘Ariyah (meminjamkan).
·         Madzhab Hanafi (Al Hanafiyah)
‘Ariyah adalah memberikan hak memiliki manfaat secara cuma-cuma. Sebagian ulama mengatakan bahwa ‘Ariyah adalah “membolehkan” bukan “memberikan hak milik”. Pendapat ini tertolak dari dua segi, yaitu:
a.       Bahwa perjanjian untuk meminjamkan itu dianggap sah dengan ucapan memberikan hak milik, tetapi tidak sah dengan ucapan membolehkan kecuali dengan tujuan meminjam pengertian memberikan hak milik.
b.       Bahwasannya orang yang meminjam boleh meminjamkan sesuatu yang ia pinjam kepada orang lain jika sesuatu tersebut tidak akan berbeda penggunaannya dengan perbedaan orang yang menggunakan baik dari segi kekuatan atau kelemahannya. Seandainya meminjamkan itu hanya membolehkan, maka orang yang meminjam tidak sah meminjamkan kepada orang lain.
·         Madzhab Syafi’i (Asy Syafi’iyyah)
Perjanjian meminjamkan ialah membolehkan mengambil manfaat dari orang yang mempunyai keahlian melakukan derma dengan barang yang halal diambil manfaatnya dalam keadaan barangnya masih tetap utuh untuk dikembalikan kepada orang yang melakukan kesukarelaan.     Misalnya adalah ani meminjamkan buku fiqh (halal diambil manfaatnya) kepada lina (orang yang berkeahlian melakukan amal sukarela), maka sahlah ani untuk meminjamkan buku fiqh tersebut kepada lina.
·         Madzhab Hambali (Al Hanabilah)
‘Ariyah adalah barang yang dipinjamkan, yaitu barang yang diambil dari pemiliknya atau pemilik manfaatnya untuk diambil manfaatnya pada suatu masa tertentu atau secara mutlak dengan tanpa imbalan ongkos.
Kata ‘ariyah secara bahasa berarti pinjaman. Istilah ‘ariyah merupakan nama atas sesuati yang dipinjamkan. Sedangkan menurut terminologi, pengertian ‘ariyah adalah
إبَاحَةُ المَنفَعَةِ بِلَا عِوَضٍ
“Kebolehan memanfaatkan benda tanpa memberikan suatu imbalan.”
B.     Dasar Hukum ‘Ariyah
Meminjamkan (membutuhkan pertolongan orang lain) pada hakekatnya merupakan sebagian dari amal kebaikan yang dikehendaki oleh manusia. Jadi dengan melihat keadaannya, maka hukumnya adalah sunnah, tetapi menurut Amir Syarifuddin hukumnya adalah boleh atau mubah sepanjang dilakukan sesuai dengan ketentuan syara’.[1] Kadang-kadang bisa juga hukumnya menjadi wajib, contohnya ketika kesehatan atau keselamatan seseorang itu tergantung pada payung ketika orang tersebut berada di padang pasir yang sangat panas, maka kita wajib meminjamkan payung kepadanya. Tetapi kadang juga bisa menjadi haram, contohnya ketika ada seseorang laki-laki meminjam budak perempuan temannya untuk dinodai, maka hukum meminjamkan budak perempuan adalah haram.
Adapun dasar hokum diperbolehkannya bahkan disunnahkannya ‘ariyah adalah ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis-hadis sebagai berikut:[2] 

 (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# uqø)­G9$#ur wur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur  …..Ÿ ÇËÈ  
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Maidah : 2)
 ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& ...... ÇÎÑÈ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa : 58)
العَارِيَةُ مُؤَذَاةٌ
“Barang peminjaman adalah benda yang wajib dikembalikan.” (H.R. Abu Daud)
مَطلُ الغَني ظُلم
“Orang kaya yang memperlambat (melalaikan) kewajiban membayar utang adalah zalim (berbuat aniaya).” (H.R. Bukhari dan Muslim)

C.    Rukun ‘Ariyah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari yang meminjamkan barang, sedangkan qabul bukan merupakan rukun ariyah, karena akad al-‘riyah termasuk akad yang mengikat salah satu pihak. Jadi apabila seseorang mengatakan kepada orang lain “saya pinjamkan sepeda ini pada engkau”, maka menurut ulama Hanafiyah sudah sah dan tidak perlu disambul dengan qabul.[3] Akan tetapi, menurut Zufar ibn Huzail (728-774 M), pakar fiqh Hanafi, dalam akad al-‘ariyah diperlukan qabul.[4]
Menurut ulama Syafi'iyyah, dalam 'ariyah disyaratkan adanya lafadzh shighat akad, yakni ucapan ijab dan qabul dari peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab memanfaatkan milik barang bergantung pada adanya izin.
Secara umum, jumhur ulama fiqih menyatakan bahwa rukun ‘ariyah ada empat, yaitu:
  1. Mu'ir {orang yang meminjamkan/memberikan pinjaman/orang yang mengutangkan (berpiutang)}
  2. Musta'ir (orang yang menerima pinjaman/peminjam/ orang yang menerima utang)
  3. Mu’ar (barang yang dipinjam/ benda yang diutangkan)
  4. Shighat atau Ijab dan Qabul, yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan, seperti seseorang berkata, “saya utangkan benda ini kepada kamu” dan yang menerima berkata “ saya mengaku berutang benda anu kepada kamu”.
D.    Syarat ‘Ariyah
Adapun syarat-syart al-‘ariyah itu diperinci oleh para ulama fiqh sebagi berikut :
  1. Mu’ir {orang yang mengutangkan (berpiutang)}
Ahli (berhak) berbuat kebaikan sekehendaknya atau pemilik yang berhak menyerahkannya. Orang yang berakal dan cakap bertindak hukum. Anak kecil dan orang yang dipaksa, tidak sah meminjamkan.
  1. Mus’tair (orang yang menerima utang)
-          Baligh
-          Berakal
-          Orang tersebut tidak dimahjur (dibawah curatelle) atau orang yang berada dibawah perlindungan, seperti pemboros. Hendaklah seorang yang ahli (berhak) menerima kebaikan. Anak kecil dan orang gila tidak sah meminjam sesuatu karena ia tidak ahli (tidak berhak) menerima kebaikan.
  1. Mu’ar (benda yang diutangkan)
-          Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak sah ‘ariyah yang mu’arnya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi.
-          Pemanfaatan itu dibolehkan oleh syara’ (tolong menolong dalam hal kebaikan), maka batal ‘ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara’. Misalnya kendaraan yang dipinjam harus digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat dalam pandangan syara’, seperti bersilaturahmi, berziarah dan sebagainya. Dan apabila kendaraan tersebut digunakan untuk pergi ke tempat maksiat maka peminjam dicela oleh syara’, sekalipun akad atau transaksi ‘ariyah pada dasarnya sah.
-          Manfaat barang yang dipinjamkan dimiliki oleh yang meminjamkan, sekalipun dengan jalan wakaf atau menyewa karena meminjam hanya bersangkutan dengan manfaat, bukan bersangkutan dengan zat. Oleh karena itu, orang yang meminjam tidak boleh meminjamkan barang yang dipinjamnya karena manfaat barang yang dipinjamnya bukan miliknya. Dia hanya diizinkan mengambilnya tetapi membagikan manfaat yang boleh diambilnya kepada yang lain, tidak ada halangan. Misalnya dia meminjam rumah selama 1 bulan tetapi hanya ditempati selama 15 hari, maka sisanya boleh diberikan kepada orang lain.
-          Jenis barang yang apabila diambil manfaatnya bukan yang akan habis atau musnah seperti rumah, pakaian, kendaraan. Bukan jenis barang yang apabila diambil manfaatnya akan habis atau musnah seperti makanan.
-          Sewaktu diambil manfaatnya, zatnya tetap (tidak rusak).
E.     Hal - Hal Yang Harus Dijelaskan Dalam ‘Ariyah
·         Macam – Macam ‘Ariyah
Ditinjau dari kewenangannya, akad pinjaman meminjam (‘ariyah) pada umumnya dapat dibedakan menjadi dua macam :
1.      ‘Ariyah muqayyadah, yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang bersifat terikat dengan batasan tertentu. Misalnya peminjaman barang yang dibatasi pada tempat dan jangaka waktu tertentu. Dengan demikian, jika pemilik barang mensyaratkan pembatasan tersebut, berarti tidak ada pilihan lain bagi pihak peminjam kecuali mentaatinya. ‘Ariyah ini biasanya berlaku pada objek yang berharta, sehingga untuk mengadakan pinjam-meminjam memerlukan adanya syarat tertentu.
2.      ’Ariyah mutlaqah, yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang bersifat tidak dibatasi. Melalui akad ‘ariyah ini, peminjam diberi kebebasan untuk memanfaatkan barang pinjaman, meskipun tanpa ada pembatasan tertentu dari pemiliknya. Biasanya ketika ada pihak yang membutuhkan pinjaman, pemilik barang sama sekali tidak memberikan syarat tertentu terkait obyek yang akan dipinjamkan.
·         Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain, berarti peminjam memiliki utang kepada yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang adalah wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk perbuatan aniaya. Rasulullah SAW bersabda :
“Orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah zalim atau berbuat aniaya”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Adapun melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman itu diperbolehkan, asal saja kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar utang. Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya diantara orang yang terbaik diantara kamu ialah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar utang”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Jika  penambahan tersebut dikehendaki oleh orang yang memberi utang atau telah menjadi perjanjian dalam akad perutangan, maka tambahan tersebut tidak halal bagi yang berpiutang untuk mengambilnya. Rasulullah SAW bersabda :
“ Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba.” (H.R. Baihaqi)
·         Tanggung Jawab Peminjam
Bila peminjam telah memegang barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik karena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya. Demikian menurut Ibnu Abbas, ‘Aisyah, Abu Hurairah, Syafi’I dan Ishaq dalam hadist yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulullah SAW bersabda :
“Pemegang berkewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengembalikannya”.
·         Tata Krama Berutang
Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang-piutang tentang nilai-nilai sopan santun yang terkait di dalamnya, ialah sebagai berikut :
a.      Utang piutang supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak yang berutang dengan menghadirkan 2 (dua) orang saksi laki-laki atau seorang saksi laki-laki dan 2 (dua) orang saksi perempuan.
Allah SWT berfirman,
(#rßÎhô±tFó$#ur ÈûøïyÍky­ `ÏB öNà6Ï9%y`Íh ( bÎ*sù öN©9 $tRqä3tƒ Èû÷ün=ã_u ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB tböq|Êös? z`ÏB Ïä!#ypk9$# br& ¨@ÅÒs? $yJßg1y÷nÎ) tÅe2xçFsù $yJßg1y÷nÎ) 3t÷zW{$# …..4 ÇËÑËÈ    
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa”. (Q.S. Al-Baqarah : 282)
b.      Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati akan membayar/mengembalikannya.
c.       Pihak yang berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak yang berutang. Bila yang meminjam tidak mampu mengembalikan, maka yang berpiutang hendaknya membalaskannya.
d.      Pihak yang berutang bila sudah mampu membayar pinjaman, hendaknya dipercepat pembayaran utangnya karena lalai dalam pembayaran pinjaman berarti berbuat zalim.
F.      Aplikasi ‘Ariyah Dalam Ekonomi dan Bisnis
Melalui akad ‘ariyah, seseorang dapat meminjam manfaat barang orang lain hingga batas waktu tertentu, meskipun tanpa harus memberikan kompensasi. ‘Ariyah digunakan dalam kondisi yang mendesak, terutama ketika seseorang tidak memiliki modal (uang) untuk membeli atau bahkan menyewa barang (produk) yang sangat dibutuhkannya.








 




 
DAFTAR PUSTAKA
·         Drs.H.Hendi Suhendi,M.Si. 2002. Fiqh Muamalah. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
·         Dr.H.Nasrun Haroen, Ma. 2007. Fiqh Muamalah. Gaya Media Pratama, Jakarta.
·         Abdulrahman al jazira. 1994. Fiqih empat madzhab(Hanafi, Maliki, Asy syafi’I dan Hambali). Asy syafa’, Semarang.
·         Burhanudin S. 2010. Fiqh Muamalah Dasar-Dasar Transaksi Dalam Ekonomi Dan Bisnis. Ijtihad Ilmu,Yogyakarta.
·         Prof.DR.H.Abdul Rahman G, M.A, Drs. H. Ghufron Ihsan, MA, Drs. Sapiudin Shidiq, M.A. 2010. Fiqh Muamalat. Kencana, Perdana Media Grup, Jakarta.


[1] Amir Syarifuddin, Loc. Cit.
[2] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalh, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 93-94.
[3] Imam al-kasani, al-Bada’I’u ash-shana’, jilid VI, hlm. 214
[4] Ibid.

3 komentar: